Ka mana boboko suling
Teu kadeuleu-deuleu deui
Ka mana kabogoh kuring
Teu kadeulu datang deui
BAIT-bait syair berisikan kegundahan dan kesedihan seorang wanita,
terdengar sangat nyaring. Terkadang irama lagunya mendayu-dayu, naik
turun dalam irama yang mengalun, seolah menghanyut pendengarnya dalam
ikatan suasana yang sulit dilepaskan.
Tak seperti biasa Ronggeng Gunung di hiasi dengan Lampu – lampu
terang karena Nyanyian Syair ini selalu dalam temaram cahaya obor, Bi
Pejoh, demikian sang ronggeng biasa disapa.
“Dalam acara Pergelaran Hasil Pewarisan Kepesindenan Ronggeng Gunung Pewarisan Seni Tradisional (Maestro) Bi Pejoh” di
Pangandaran Kabupaten Ciamis belum lama ini, minggu (01/10). Sang
maestro serta beberapa pecinta Ronggeng di berikan penghargaan dan uang
kadeudeuh oleh Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Jawa Barat.
Dalam sambutannya Herdiwan I Suranta mengatakan, akan membawa
Ronggeng Gunung dan memperkenalkan kepada dunia Internasional karena
Ronggeng Gunung memiliki ciri khas tersendiri, bahkan dari ronggeng –
ronggeng yang sudah ada di jaman sekarang adalah perkembangan dari
Ronggeng Gunung, tuturnya.<!--more-->
Di akhir acara Gugum Gumbira sang Legenda Seni ini menambahkan “akan
Dibuat Sinopsis dan Ritual yang lebih kental dengan yang aslinya atau
harus mengenai Jiwa dan Ruh nja… tarian juga akan dibuat sederhana
mungkin agar bisa di nikmati oleh semua kalangan,” ungkapnya.
Ditemui di tempat Istirahatnya Kasepuhan Ronggeng Gunung tidak lain
guru Bi Pejoh menambahkan, bahwa sebenarnya tidak ada mewariskan atau
menurunkan karena itu adalah keahlian bi Pejoh dengan cengkok serta
nyaring suaranya.
“Awalnya, Ronggeng Gunung berbau maut. Kesenian tradisional Ciamis
selatan itu, merupakan seni bertempur yang cerdik. Konon, orang-orang
Galuh yang ikut menari menutup wajahnya dengan kain sarung sambil
memancing musuhnya untuk ikut hanyut dalam tarian. Ketika musuh
terpancing dan ikut ke tengah lingkaran, sebilah pisau mengintip
menunggu saat yang tepat untuk ditikamkan.
Siasat itu, konon diilhami dendam Dewi Siti Samboja yang kemudian
mengubah namanya menjadi Dewi Rengganis. Pasalnya, suami tercintanya,
Raden Anggalarang putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, tewas
dibunuh kaum perompak (bajo) di tengah perjalanan menuju Pananjung,
Pangandaran. Beruntung Dewi Siti Samboja selamat dan bersembunyi di kaki
gunung.
Bagi masyarakat Ciamis Selatan, kesenian ronggeng gunung pada masa
jayanya bukan hanya hiburan tetapi juga pengantar upara adat. Dalam
mitologi Sunda, Dewi Siti Samboja atau Dewi Rengganis hampir sama dengan
Dewi Sri Pohaci yang selalu dikaitkan dengan kegiatan bertani. Oleh
karena itu, tarian dalam ronggeng gunung melambangkan kegiatan Sang Dewi
dalam bercocok tanam, yakni sejak turun ke sawah, menanam padi,
memanen, sampai akhirnya syukuran karena panen berhasil. Tambah sang
pupuhu.
Kasi Seni Tradisi, Disparbud Jabar, Iwan Gunawan, saat ditemui
setelah acara usai, dia berharap program pewarisan sedikitnya bisa
menyelamatkan kesenian yang sudah sulit dikenali oleh masyarakat luas.
“Kami berusaha mengaktualkan kembali kesenian di tengah masyarakat dan
mengharapkan peran bantu serta dorongan dari seluruh sektor
wilayah,”ungkap Iwan.
“ Tarian ronggeng gunung Menari juga ada seseuatu unsur gerak membuat badan kita sehat atau menari sama saja dengan olahraga”.
“Ronggeng Gunung agar menjadi Primadona daerah Kabupaten Ciamis,
secara teknis semua orang pasti bisa menari, serta Ronggeng Gunung akan
di tampilkan dan memperlihatkan kepada pendatang khusunya di wisata
pangandaran karena banyak Turis asing yang melancong di daerah
tersebut”.
“Ronggeng Gunung itu sendiri akan di pentaskan dan diperkenalkan jika
ada acara di Jawa barat, Untuk Pembinaan itu sendiri Iwan mengatakan
harus ada Kontinue baik melalui Workshop maupun pelatihan pelatihan
kesenian, pungkas Iwan Gunawan S.Sn, M.M.
About Me
- Unknown
http://i1079.photobucket.com/albums/w504/widgetandtutorial/1067012b6uayxs6vx.gif
RONGGENG GUNUNG ASET JABAR
21.23 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar